Bagi Soekarno ideologi marhaenisme adalah ideologi perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sitem kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme, untuk memahami marhaenisme menurut Soekarno harus menguasai dua pengetahuan:
Pertama: Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia.
Kedua: Pengetahuan tentang Marxisme.
Soekarno menegaskan bahwasannya siapapun yang tidak dapat memahami marhaenisme jikalau tidak memahami marxisme terlebih dahulu.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan dengan alasan yang kuat pula bahwa marhaenisme adalah marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sendiri.
Ketika Soekarno mencermati marxisme, Soekarno menemukan filsafat bahwa marxisme terdiri dari dua hal filsafat yang harus dibedakan, yaitu filsafat materialsme dan historis materialisme. Soekarno menilai filsafat materialisme yang atheis yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Soekarno filsafat historis materialisme dapat digunakan sebagai metode alat berfikir untuk menganalisa kehidupan sosial Indonesia .
Historis materialisme bukanlah merupakan ajaran atau ideologi, melainkan teori sosial yang dapat digunakan untuk menganalisa keadaan sosial. Dengan menggunakan historis materialisme yaitu sebagai pisau analisa, Soekarno menemukan bahwa rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah petani kecil yang hidupnya menderita karena ditindas oleh sistem yang mengungkungnya yaitu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing yang merupakan anak kapitalisme, serta feodalisme bangsa Indonesia sendiri.
Marhaenisme
diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui
Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah
menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum
proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya
menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung.
Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah
pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun dalam
Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu
terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui
seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil
dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul
adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak
pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama
Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme
jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa
Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932,
ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July
1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di
tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat
menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis.
Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan
pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan
yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah
dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk
menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean
Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran
Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk
mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi,
tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan
dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi
parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan
pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera
Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan
bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati
demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya
Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial,
bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai
sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di
Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul,
tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno
memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan
pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang
tertindas.
Kediktatoran
Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya
menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan
demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan
kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk
pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh
Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika
Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan
penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa
besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih
penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl
Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat
radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak
sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan
partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka
tentang Marhaenisme.
Marhaenisme pada hakikatnya suatu ideologi semula terbentuk dasar daripada Sosio Nasionalisame, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi Bung Karno.
Dasar daripada Marhaenisme sendiri agar mempunyai kekuatan mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi bangsa lain, tiap
orang atau rumahtangga di Negara ini memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat
berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat
teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan
dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar,
kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau
rumahtangga itu dalam perekonomian.
Berbeda
dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme
bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi
kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan
keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar.
Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak
sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya,
syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar.
Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi
barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor
produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar
atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme,
barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap
orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri
sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi
manakala kebutuhannya sudah kongkret betul. Suatu hal untuk mencapai efektif serta efisiensi sekaligus mencegah pemborosan sumberdaya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya dapat difungsikan sebagai surplus modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh kembangnya perekonomian dari banghsa asing.