Translate

Pengikut

Jumat, 24 Januari 2014

Tahun Politik Indonesia

Di bulan Juli 1996, lima hari sebelum serbuan ke markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Jakarta, sekelompok anak muda mendeklarasikan sebuah partai baru.

Deklarasi yang sama sekali tak mewah. Bertempat di salah satu ruang milik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, anak-anak muda yang datang dengan bajaj dan metromini itu dengan gagah “menantang” sebuah rezim yang selama puluhan tahun mengerdilkan aspirasi politik rakyat.

Anak-anak muda itu, para deklarator Partai Rakyat Demokratik, adalah generasi yang gelisah. Mereka anak-anak muda yang terlalu banyak tanya saat menyaksikan para petani tak berhak atas tanahnya meski telah menggarapnya bertahun-tahun, buruh pabrik yang selalu gagal menabung meski telah kerja lembur, pers yang tidak pernah bisa mengkritik penguasa, diskusi buku yang dicurigai sebagai makar, ABRI yang sibuk jadi beking pengusaha dibanding menjaga pertahanan wilayah, dan pemilu lima tahunan yang selalu sudah ketahuan siapa pemenangnya meski “pesta demokrasi” itu belum digelar.

Mereka membacakan manifesto, menyebut paket 5 UU politik sebagai pangkal soal dan dwifungsi ABRI sebagai pemicu kecemasan.  Mereka menyeru demokrasi dan membayangkan sebuah negeri yang tak hanya dihuni tiga partai politik dan ratusan juta orang yang selalu cemas setiap kali melontar kritik. Mereka merindukan demokrasi, dimana orang bebas bicara dan parpol bebas berdiri. Dimana pers leluasa mengkritik dan buruh boleh demonstrasi. 

Kita kemudian tahu kelanjutannya. Mereka digebuk. PDI diserbu. Gerakan demokratik kocar-kacir.  Sebagian aktivis menghuni bui, sebagian hilang tak kembali. Rusuh meletus. Soeharto jatuh. Reformasi bergulir. Timor Leste lepas, pers bebas. Pemilu digelar dengan banyak bendera. SKBRI dicabut. Konghucu diakui. Imlek ditetapkan sebagai hari libur. Tentara dikembalikan ke barak. Anggota DPR, kepala daerah hingga presiden dipilih langsung. Pusat berbagi otonomi ke daerah. Perda-perda aneh mencuat. Gereja dibakar. Ahmadiyah dan Syiah disikat. Lalu, korupsi! Para politisi dan pejabat publik ramai-ramai jadi tersangka korupsi. Berbaris menunggu vonis. 

Demokrasi begitu hiruk-pikuk. Namun rakyat -petani, buruh, dan kaum miskin kota yang disebut oleh anak-anak muda itu dengan penuh gairah dalam manifesto mereka- hanya berdiri di pinggir lapangan dan dilibatkan dalam politik semata untuk kalkulasi serangan fajar. 

Demokrasi  yang disitir berulang-ulang oleh para kader partai politik hingga berbusa hanya  sebatas pada siapa mewakili berapa, dan berapa bisa membeli siapa. Politik menjadi hal yang banal. Bukan lagi sesuatu yang pada dirinya memancar gairah perubahan.

Itu sebabnya ketika para pimpinan dan kader parpol satu persatu diseret ke depan persidangan atas tudingan korupsi, rakyat melihat dengan hati tawar. Sebagian dari mereka bisa jadi merindukan tirani dan dengan sukarela mengubur demokrasi. Sebagian lainnya bersorak, mensyukuri bahwa mereka tak pernah terlibat politik dan insiden itu hanya jadi pembenaran bagi mereka  bahwa selamanya politik adalah “barang kotor”. 

Siapa kini mempercayai politik? Siapa meyakini partai politik? Seorang jenderal yang berniat maju sebagai calon presiden 2014  menyebut  bahwa demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi duit. Kita  boleh punya visi dan misi setinggi langit, tapi jika tidak punya duit, jangan harap ada yang bakal melirik. 

Terima kenyataan bahwa kita kini tengah berada di era demokrasi liberal. Aspirasi rakyat hanya diwakili oleh segelintir orang yang menilai politik hanya sebagai karier untuk mengeruk keuntungan finansial. Pers dan partai politik berada di balik kendali kekuatan modal. Siapa punya modal paling besar, dialah yang punya kontrol penuh terhadap “keterbukaan” dan “kebebasan”. “Keterbukaan” untuk mengorek siapa yang bisa dipalak  dan “kebebasan” untuk memilih siapa yang bisa dijadikan sekutu. 

Politik pada akhirnya hanya jadi jenis “pekerjaan”. Sukses tidaknya sekadar ditentukan oleh peluang memperoleh kemenangan dan seberapa lama bisa mempertahankan kemenangan. Untuk dua hal tersebut, orang -juga partai- akan melakukan apa saja, termasuk merampok uang negara. 

Ini bukan semata soal moral atau etika. Ini tentang gairah yang hilang. Tentang harapan yang begitu menyilaukan mata dan kita seru berulang-ulang di bawah tirani. Tapi saat tirani berakhir, kita linglung mengamati sekeliling.

Cahaya harapan yang dibawa keterbukaan dan kebebasan itu ternyata menyilaukan. Kita tak tahu harus memulai dari mana. Kita lupa tentang apa dan siapa. Kita sibuk menghitung berapa. Lalu saat tak ada lagi degup jantung yang membuat pipi merona, kita memilih menjadi pembebek. Cahaya ini memabukkan, sementara kepeloporan adalah kerja yang terlalu melelahkan dan butuh nafas panjang. 


Mungkin benar apa yang dikatakan novelis Amerika Tom Robbins, politik adalah orang yang bersemangat mengubah hidupnya tapi kemudian hilang gairah saat menjalaninya.

Kata-kata Bijak Dan Mutiara ala Reformasi

kata-katabijakdanmutiaraalareformasi

Ia tak tahu apa warna abad mendadatang. Ia tak punya bayangan  apa industri masa depan yang akan mengundang decak kagum dunia. Tapi satu hal yang ia tahu, bahwa umat manusia akan selalu menghargai dan menghormati semua bakat yang keluar dari hati dan pikiran. Bakat yang dipercayai selama ribuan tahun: kecerdasan, kerja keras, disiplin, keberanian, kesetiaan, dan, mungkin di atas semua, cinta dan semangat kemurahan hati.

Kita tidak membutuhkan sebuah kursus etika untuk mengetahui apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Percayailah nalurimu, kata Fareed, dan jujurlah terhadapnya, maka kau bisa membuat hidupmu lebih baik dan sekaligus mengubah dunia.

Mengubah dunia, tak cukup dengan kepintaran untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi atau menguasai  teknologi paling canggih untuk mencari planet baru alternatif bumi, tapi kepercayaan pada naluri kita sendiri dan menjadi jujur terhadapnya.

 Keyakinan bahwa segala aturan yang ada di atas kertas adalah yang benar, dan tindakan pelanggaran sekecil apapun terhadap aturan itu harus diganjar hukuman.

Tidak ada celah untuk “pemakluman”, tidak ada peluang untuk “pengampunan”. Karena dengan demikianlah hukum ditegakkan: “mata dibalas dengan mata, gigi dengan gigi.” Ia hanya terpaku pada “apa”, dan sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu “mengapa”. Seolah segala hal bisa dijelaskan hanya dengan melihat yang tersaji di atas meja.

Pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk dengan darah dan daging, yang mengaduh saat sakit dan tergelak saat bahagia. Makhluk yang hatinya gampang terharu saat melihat derita orang lain, tapi juga mudah meradang saat hukum—atas nama negara maupun agama—bersikap pongah terhadap kemanusiaan. Makhluk yang bisa disapa dengan hatinya, meski batu kepalanya. Makhluk yang selalu punya kemerdekaan penuh atas jiwanya, meski ia sudah menyerahkan tubuhnya.

Di bawah langit yang berbeda dan berjarak ribuan kilometer, ketika didera oleh kesengsaraan yang sama, kadang-kadang jiwa manusia menyerah pada setan yang sama.


Tujuan Politik Indonesia Dalam Sejarah Kemerdekaan

Ir.Soekarno yang biasa dengan panggilan akrab Bung Karno lahir di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901. Presiden pertama Indonesia ini lahir dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai. Beliau adalah seorang orator ulung yang telah diakui kehandalanya hingga ke mancanegara. Tokoh proklamator yang sangat anti kolonialisme dan imperialisme ini sejak kecil, hanya beberapa tahun tinggal bersama orang tuannya di Blitar karena saat sekolah dasar beliau tinggal di Surabaya dan indekost dirumah H. Oemar Said Tjokroaminoto (Pendiri Sarekat Islam). Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogre Burger School) dan lulus pada tahun 1920. Setelah lulus beliau melanjutkan ke THS (Technische Hooge School) yang saat ini bernama ITB (Institut Teknik Bandung) dan lulus pada 25 Mei 1926 dengan gelar "Ir".
Beberapa abad telah silam Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945 oleh gerakan-gerakan muda yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui pidato proklamasi yang dibacakan oleh Ir.Soekarno di jalan Pegangsaan Timur Jakarta, melalui tujuan politik Soekarno menciptakan suatu jalannya Revolusi Indonesia dengan mengatakan "Teriakkanlah sembojan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara jang mendengung menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnja guntur. Dengungkanlah sampai melintas tanah datar dan gunung dan samudra, bahwa Marhaen diseberangnja Jembatan-emas akan mendirikan suatu masjarakat jang tiada keningratan dan tiada keburdjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme". Pada tahun 1927, Soekarno mendirikan sebuah partai yang digunakan sebagai wadah perjuangan dan untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dengan tidak membedakan suku dan budayanya yaitu PNI  Soekarno melihat perkumpulan-perkumpulan seperti Budi Utomo, Indische-Partij dan Sarekat Islam dalam perjuangannya masih tercermin sifat kesukuan atau kedaerahannya, keagamaanya dan memiliki tujuan sendiri-sendiri. Ini yang membuat cita-cita perjuangan kemerdekaan tidak dapat diwujudkan.
Ir.Soekarno dalam mendirikan partai menggunakan asas ”Marhaenisme”, dasar dari Marhaenisme adalah Sosio Demokrasi dan Sosio Nasionalis. Sosio Nasionalis yaitu asas kebangsaan yang berkemanusiaan dan Sosio Demokrasi yaitu asas kesamaan yang berdasarkan kebersamaan atau gotong royong. Istilah-istilah maupun dasar-dasar Marhaenisme, diciptakan dan dilahirkan sendiri oleh Soekarno. Menurut Soekarno, Marhaenisme adalah sosialisme dalam praktek dan tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain seperti dalam praktek Kapitalisme dan Imperialisme.
Beliau mulai merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927 dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Menyadari hal itu Belanda pun memasukkannya ke penjara Sukamiskin-Bandung pada 29 Desember 1929. Setelah dipenjara selama delapan bulan beliau baru disidangkan. Dalam sidang beliau membuat pembelaan yang berjudul "Indonesia Menggugat" dengan menunjukan pelanggaran oleh Belanda. Namun Belanda malah membubarkan PNI pada Juli 1930. Setelah bebas pada tahun 1931 Ir.Soekarno bergabung dengan PARTINDO dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya beliau kembali di tangkap Belanda dan dibuang ke Ende-Flores pada tahun 1933 dan empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
PNI sebagai partai politik pertama yang mendasarkan pada nasionalisme. Sesuai dengan tujuannya, PNI terbuka bagi setiap masyarakat Indonesia dan bergabung menjadi barisan yang revlusioner. Barisan yang bersifat radikal dan menghendaki perubahan secara cepat. PNI dalam perjuangannya menggunakan cara-cara yang radikal dengan cara propaganda agar masyarakat sadar tujuan pergerakan nasional. Marhaenisme sebagai dasar perjuangan melawan kapitalisme merupakan praktek dari sosialisme Indonesia. Sosialisme yang di maksud Soekarno adalah sosialisme campuran, bukan sosialisme yang ekstrem seperti ajaran komunis. PNI mempunyai satu tujuan seperti yang tertera dalam Anggaran Dasarnya, yaitu cita-cita ingin menyatukan bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan, suku dan agama. Cita-cita ini sejalan dengan pemikiran Soekarno selaku pencetus dan pendiri Marhaenisme. PNI telah memasukkan diri kedalam kelompok partai yang nasionalis yang bercorak modern dalam masa kolonial atau sebagai organisasi pergerakan nasional yang bergerak dalam bidang politik. Atas gagasan Soekarno maka dibentuklah suatu federasi yang mewadahi semua aliran politik, partai politik dan perkumpulan-perkumpulan. Pembentukan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari partai-partai besar seperti PNI baru, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Sumatera Nenbond, Kaum Betawi dan Indonesische Studieclub
Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia dan tujuan itu akan dicapai dengan asas “percaya pada diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan dicapai melalui berbagai usaha, antara lain:
1.      Usaha Politik
Yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidang politik, PNI berhasil menghimpun organisasi-organisasi pergerakan lainnya ke dalam satu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia;

2.      Usaha Ekonomi
Yaitu dengan memajukan perdagangan rakyaat, kerajinan atau industri kecil, bank-bank, sekolahsekolah, dan terutama koperasi;

3.       Usaha Sosial,
Yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan memperbaiki kesehatan rakyat.
Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indoenesia. Ir. Soekarno dengan keahliannya berpidato berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Melihat gerakan dan pengaruh PNI yang semakin meluas, pemerintah kolonial menjadi cemas, maka dilontarkanlah bermacam-macam isu untuk menjelekkan PNI. Bahkan kemudian mengancam PNI agar menghentikan kegiatannya. Rupanya Belanda belum puas dengan tindakannya itu, maka PNI pun dituduh akan melakukan pemberontakan. Pemerintah Belanda melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI di seluruh wilayah Indonesia pada 24 Desember 1929. Akhirnya 4 tokoh teras PNI yaitu: Ir. Soekarno, R. Gatot Mangkoepradja, Markoen Soemadiredja, dan Soepiadinata diadili di Pengadilan Negeri Bandung dan dijatuhi hukuman penjara pada 20 Desember 1930. Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi PNI dan atas inisiatif Mr. Sartono pada Kongres Luar Biasa ke-2 (25 April 1931) PNI dibubarkan.
Kemudian Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Partindo merupakan organisasi kelanjutan dari  PNI pada tahun 1931 dengan harapan PNI akan bergabung dengan Partindo. Tujuan dari Partindo adalah untuk mencapai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia Merdeka dan kemerdekaan akan tercapai apabila seluruh rakyat Indonesia bersatu padu. Konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang diusung Ir.Soekarno diterima sebagai cita-cita dari partai ini. Karateristik perjuangan partai ini adalah non kooperatif. Sartono sebagai ketua dari partai ini menolak  bergabungnya partindo dengan PPKI yang disponsori oleh PNI induk dari Partindo.Ir.Soekarno yang menginginkan agar kedua partai ini bergabung menyerah mendamaikan keduanya sehingga memilih untuk masuk partai ini.
Setelah bergabungnya Ir.Soekarno kedalam partai ini membuat perkembangan Partindo meningkat pesat. Menjabat sebagai kepala cabang Bandung, Ir.Soekarno melakukan aksi-aksi yang memukau Rakyat indonesia. Dengan pidato-pidatonya yang menyihir membuat propaganda-propaganda Partindo tersalurkan dan memikat hati Rakyat Indonesia untuk masuk kedalam partai ini. Terbukti dengan jumlah keanggotaan yang meningkat dari 226 pada bulan Agustus 1932 menjadi 3762 pada tahun 1933. Pada kongres Partindo Juli 1933 Ir.Soekarno menjelaskan konsep marhaenisme kepada yang menentang analisa kelas dari PNI Pendidikan dan lebih menyukai perjuangan membela rakyat kecil. Pada kongres ini juga Ir.Soekarno sukses menyampaikan konsep sosio-nasionalis dan sosio-demokratisnya. Kongres-kongres yang selalu dipenuhi oleh peminat ini membuat pemerintah melakukan wanti-wanti dengan melarang keikut sertaan pegawai negeri untuk bergabung dengan partai ini dan puncak dari aksi pengawasan pemerintah ini dengan dibuangnya tokoh yang sangan berpenganruh terhadap perkembangan partai ini yaitu Ir.Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Sejak pembuangan tokoh-tokoh partai ini membuat ruang gerak Partindo makin terbatas, hingga kongres yang akan dilaksanakan pada 30 Desember 1934 dilarang oleh pemerintah. Partindo telah berusaha agar mendapatkan sedikit ruang untuk bergerak sehingga Partindo memutuskan untuk keluar dari PPKI, tapi tenyata ini tidak membuahkan hasil. Dibuangnya Ir.Soekarno juga membuat Partindo lebih terpukul yang pada kahirnya bubar pada 18 November 1936. Tokoh yang paling berpenganruh dalam Partindo adalah Ir.Soekarno.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang bersama seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 Ir Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang di sebutnya Pancasila. Ir Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai presiden Indonesia dalam sidang PPKI pada 18 Agustus1945. Bung Karno yang menganut ideologi pembangunan berupaya mempersatukan nusantara bahkan berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi gerakan Non Blok. Berkat sepak terjangnya, Indonesia yang baru saja merdeka sudah menjadi salah satu "macan asia", disegani oleh negara-negara asing dan dicintai/dibanggakan oleh bangsa sendiri.

Kesehatannya terus memburuk yang pada hari minggu 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia dimakamkan di Blitar Jawa timur di dekat makam Ibundanya Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkan gelar "Pahlawan Revolusi" kepadanya. Bung karno mempunyai tiga istri yakni Fatmawati, Hartini dan Ratna Sari Dewi seorang istri turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto. Dari ketiga istrinya Bung Karno di karuniai delapan orang anak yakni dari Fatmawati Soekarno Putri, Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri dan Guruh Soekarno Putra, dari Hartini mempunyai anak Taufan dan Bayu, sedangkan dari Ratna Sari Dewi mempunyai anak Kartika.